Ya, Gusti

Aku lebih senang panggilmu Gusti daripada sebutan yang lain. Nampaknya, memang aku begitu menyukai semua yang berakhiran i, kecuali yang belakangan ini; Tai, Babi, dan i lain yang berkonotasi negatif. Bahkan bila namamu, si manis itu, Bela, aku akan dengan begitu sudinya menambah i dibelakangnya, jadi Belai, haha.

Ya, Gusti. Belakangan ini dingin memang sebegitu keterlaluannya. Tulisan-tulisan si Chairil yang biasanya bikin aku merah menyala, kini merahnya tak lagi bikin getar hati. Mungkin sudah dibikin beku oleh dinginmu atau aku kurang saja dalam meresapinya karena dinginmu sudah terlalu meresap dalam tulang-tulangku. Susu Jahe yang kuminum di pinggir jalan semalam juga tak mampu hangatkan bagian dalam saya. Untung saja ya Gusti , senyum dan ketawanya bantu hangatkan badan saya, dan yaa Gusti, rasanya ingin saja kupeluk senyum hangatnya, kubawa pulang dan jadi guling tidurku, haha. Saya sedang tidak menggombal ya Gusti. Mungkin suasana begini dicipta oleh campuran rasa dan suara yang saya dengar lewat alat rungu saya. Begini Gusti suaranya;

Stars shining bright above you,
night breezes seem to whisper, “I love you”.
Birds singing in the sycamore tree,
“Dream a little dream of me”.

Memang belakangan selera musikku menjadi begini-begini ya Gusti dan terimakasih banyak telah mengalunkan nada-nada begini, dan ahhh… pita suara si Ella Fitzgerald memang begitu uniknya. Oh ya Gusti, apa nanti di tempatmu juga sebegini dinginnya? Apa nanti ditempatmu juga kau putar musik-musik yang menentramkan dan bikin hangat rungu penghuninya? Apa nanti ditempatmu sana orang-orang saling mengagumi sama satu lain? Oh Gusti Gusti, Bukannya kau yang paling dikagumi disana? Lalu apa nilai kami disana ya Gusti? Dan apa tugas kami ketika sudah ditempatmu sana ya Gusti? Bukankah semuanya sudah diakhiri? Ah , memangnya di tempatmu ada awal dan akhir ya Gusti? Bagaimana dengan bidari seribu itu ya gusti? Apakah nanti mereka yang beristri tidak ngambek kalau suaminya pengen dengan salah satu bidari itu Ya Gusti? Ah, bodoh kalau hanya pengen satu. Kalau aku seribu-ribunya mau, hahaha. Ah masa mereka yang berlomba-lomba ketempatmu itu hanya mau tidur dengan bidari Ya Gusti? Kalau hanya begitu disini ya bisa saja ya Gusti. Ah, memangnya tempatmu itu bisa didefinisikan ya Gusti?

Ah, sudah jangan banyak tanya, dengarkan saja alunannya.

Say nighty night and kiss me
Just hold me tight and tell me you miss me
While I’m alone and blue as can be
Dream a little dream of me

Ah, musik begini memang pas dikala dingin.
Terimakasih Gusti, Ella Fitzgerald, dan Aang, si avatar berhijab yang membeku, karena telah menghangatkan di dingin begini.

Tak luput juga terimakasih kepada diri saya sendiri yang telah jadi sebegini berani. Dan,… Saya harus mandi walau dingin begini

What A Wonderful World.

Perkenalkeun nama saya Bohemi. Panggil saja “ohem”. Disini saya sedang duduk, pandangi langit biru lewat kaca mobil putih yang bunyinya!! Aduh! bikin orang-orang pada minggir. Telinga saya jejali dengan headset putih yang….. ya Gusti!! suara si Louis Armstrong!!.

I see trees of green, 
red roses too. 
I see them bloom, 
for me and you. 
And I think to myself,
what a wonderful world. 

Sudah dua setengah jam saya duduk sambil dengar lirik itu sambil merenung mengapa dunia gelap ini berubah jadi biru-biru keunguan, hijau-hijau kekuningan, merah-merah ke oranye an. Apa mata saya sudah begitu rusaknya? Atau memang begini rupa aslinya? dan lagi…. Kemana mobil ini menuju? dan Siapa pula dua orang berbaju putih ini? yang tampaknya si sopir dan keneknya. Mengapa mereka sebegitu ngebutnya?

The colors of the rainbow, 
So pretty in the sky. 
Are also on the faces, 
Of people going by, 
I see friends shaking hands. 
Saying, “How do you do?” 
They’re really saying, 
“I love you”. 

Aiiihh,, siapa ambil peduli. Hidup sudah sebegini damainya, biar saja orang-orang ngebut gak karuan, tergesa-gesa dalam kehiruk-pikukan. Biar saja.. Biar.. yang paling penting langitku sudah kembali biru, dan daun-daun itu…Ahhh Gusti!! Daun-daun mengingatkanku pada manusia-manusia disini. Lihat remaja itu! Iya gadis diseberang sana yang dadanya menyembul dengan rambut pirang alaminya itu, dia sedang semi-seminya, hijau pupus dia itu, sedang menuju hijau-hijaunya. Nah benar kan! Sekelilingnya pada lihati itu yang menyembul, buah dari surga itu. Ah dasar mereka itu, para lelaki… Mereka yang begitu itu sebenarnya hijau tegap. Karena tidak dapat tahan mata dan burung di celananya, dia jadi santapan nafsu-nafsunya sendiri, ulat-ulat yang menggerogoti benang-benang hijau daunnya. Dan, itu pak tua yang tersenyum bahagia menikmati cucunya yang bermain-main dihalaman itu. Ahhh, Pak tuaaa, berapa usiamu oh Pak? sudah lama sekali pasti kau hidup, tinggal lagi kau jatuh Pak! diterpa semilir angin bak kuning daun-daun diujung ranting-ranting.

Yes, I think to myself, 
What a wonderful world.

Ya… kemanapun hewan beroda empat ini membawaku, aku tak mau ambil peduli. Angin-angin begitu melenakan. Oh Tuhaaan.. kenapa orang-orang ini pada menangis ditengah indah warni bumi ini. Lihat… tubuhku sebegini ringannya apa mereka tak rasakan tubuhnya sendiri? Bahkan, aku mampu melayang-layang saking bahagianya. Ahh!! Sayang, kau disini pula ternyata. Sayang..Sayang mengapa kau juga menangis? Tak sukakah kau kalau aku bahgia? Ayo, Senyumlah, lepaskan duka-duka mu.

Kereta, mobil, atau hewan putih ini terus saja melaju. Tembusi waktu berkabut. Terjangi apa-apa dihadapnya. Truk, pick-up, Bus, Tronton, apa lagi? Segalanya hormat. Beri Jalan. Beri ruang. Ah, nikmatnya. Apa pula nama hewan ini? Aku juga tak mau ambil peduli. Aku juga lihat raut senang dan air muka gembira ria dari pengendara roda dua dibelakang keretaku. Membontot i dibelakang keretaku sambil senyam-senyum bahagia karena jalan mereka terbuka, bebas macet, semua menyingkir karenaku. Kurang apa hidup kalau sudah begini ya Gustii? Sedang aku melayang lepas tanpa kendali, hirupi udara kedamaian, sembari kudengar orang-orang berteriak :

“Minggirr!! Minggir semua!! Ambulans! Ambulans!”

Wiu..wiuu..wiuu begitu suara kudaku.
Ah, Dunia ini begini rumpang, semuanya ganjil. Aku tak bisa paham. Ah mana peduli aku. Aku sebegini melayangnya.

Yes, I think to myself, 
What a wonderful world.

Ah… tapi sayang, sayangnya, sayangku tidak tersenyum.