Kekal

Pagi ini kau datang bawa kembang berkarang
Persis, sama, sewatktu dulu kita pertama bersua
Bajumu merah, pakaianku tanah
Kau menangis, aku terkikis

Angin berhembus menyibak rambutmu
Angin berhembus teriakkan namamu
Kau merunduk usapi matamu
Aku menembus, aku menembus, disampingmu

Lewat semilir angin, kudengar lirih olehmu
“Semoga bertemu di kekekalan”

Malang, 21 Januari 17

Baka

Angin bawanya terbang
menembus batas
menapak cakrawala
menghinggap baka

Angin bawanya terbang
menembus batas
“Pagi ini aku sampai”
ia tersenyum

Dilihatnya sekitar
Dilihatnya keliling
“Pagi ini aku sampai”
di kekekalan.

Malang, terkurung dingin dinding.

Senja Biru

Ada yang beda
Berubah
Entah mataku
atau memang begitu

Senja ini tak merah
tak pula jingga
Ia biru….
utuh

Ada yang beda
Berubah
Entah mataku
atau memang begitu

Daun tak lagi hijau
Kuning, ditunggu tanah
tak jatuh kebawah
tak jatuh ketanah
ia terbang
dibawa angin
tak mau berhenti
tak mau jatuh

Kembali

Mak, pagi ini aku bangun…
Tak ku temui kau dikamarmu
Aku melangkah
Ke halaman rumah

Orang-orang riuh..
Bapak menahan eluh
“Emak dimana?”
Bapak mengaduh,
tak kuasa,
matanya basah

Ia berjongkok dipojok
kerenda hijau
“La illaha ilallah”
tulisan kuning emas
berkilau.

SPACE

Lalu, ia bertanya “Darimana semesta berasal?”. “Dari mana semua bermula?” bukankah semua ini hanya pikiran? dengusnya. Bukankah semesta hanya pikiran? digerakkan dzat yang lebih tinggi, lebih kompleks, lebih kuasa.

Lalu ia tatap sesuatu yang bekerlipan diatasnya, matanya berbinar, ia tersenyum, dirasakannya dada bergetar. Ia rebahkan badannya diatas rumput yang menghitam dililit gelap itu. “Begitulah ini semua mimpi, mimpi dan pikiranNya”. Angin berhembus, menutupi matanya, ia tersadar esok pagi.